feedburner

Teruslah bergerak, hingga KELELAHAN itu LELAH mengikutimu,
Teruslah berlari, hingga KEBOSANAN itu BOSAN mengejarmu,
Teruslah berjalan hingga KELETIHAN itu LETIH bersamamu

Mengapa aku memilih jalan ini? -Part 1-



Menjadi dokter adalah cita-citaku sejak kecil. Namun, ternyata sekarang aku sendiri terkadang ragu, apakah dokter benar-benar jalanku?

Kalau ditanya, “apa motivasi kamu memilih kedokteran?”, aku masih tidak yakin untuk menjawabnya. Sempat aku menjawab “cita-cita sejak kecil” tapi setelah diingat-ingat aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri. Hal pertama yang menjadi inspirasi adalah lagu yang dinyanyikan oleh SUSAN yang berbunyi.. “Susan..susan..susan..kalau gede, mau jadi apa?” dan ia menjawab “mau jadi dokter”. Dan setelah itu, selama bertahun-tahun aku menganggap bahwa cita-citaku adalah jadi dokter, karena menjadi dokter sepertinya adalah impian semua anak di masa itu. Dan aku adalah anak biasa…Hal itu juga didorong dengan paradigma orang banyak yang menganggap bahwa dokter adalah profesi yang terpandang, mulia, disanjung-sanjung, dan memiliki prestise yang tinggi.

Semenjak masuk SMA, aku mulai menyadari bahwa aku tidak begitu ahli dengan fisika dan matematika. Kedua hal itu membutuhkan kemampuan analisis dan logika yang kuat. Aku tidak mempunyai bakat dalam hal itu. Kalau dokter sepertinya cukup hanya dengan menghapal isi buku. Itu yang kupikirkan pada awalnya.
Banyak juga teman-teman yang ingin menjadi dokter. Mungkin dikarenakan profesi-profesi lainnya yang masih kabur di bayangan kami yang pada saat itu masih kelas 2 SMA. Namun, setelah kelas 3, gambaran tentang profesi di masa depan semakin jelas buat kami. Yang tadinya semua orang akan menjawab “kedokteran” jika ditanya tentang jurusan yang akan diambil, mulai beralih pada jurusan-jurusan lain seperti teknik, akuntansi, hukum dan sebagainya. Aku pun mulian mencoba untuk mengenal diriku. Dimana bakatku yang sesungguhnya.

Aku menyadari bahwa aku sedikit berbakat dalam komunikasi, organisasi, dan bahasa Jepang. Tapi, jika begitu, apakah ini berarti aku harus memilih FIKOM, FISIP, atau bahkan Sastra Jepang? Aah, namun, jurusan-jurusan itu tidak begitu terkenal di kalangan teman-temanku.

Jiwa kompetisiku kembali muncul. Aku ingin mencari jurusan yang cukup terkenal, yang banyak peminatnya, yang kalau aku masuk disana akan sedikit memberikan kepuasan batin bahwa aku berhasil. Sempatlah jurusan Teknik Industri ITB masuk dalam daftar jurusanku. Bahkan aku sempat mengambil Ujian Saringan Mandiri (USM) ITB (Institut Teknologi Bandung) gelombang II dengan memilih pilihan pertama STEI dan kedua Teknik Industri. Kenapa aku memutuskan untuk mengambil USM ITB? Mungkin karena melihat pengalaman teman-temanku yang banyaaak sekali diterima dalam USM gelombang I. Lagipula saat itu aku belum memiliki pegangan apapun, dan kupikir tidak ada salahnya untuk mencoba. Karena lokasi ujiannya di ITB, hal itu menjadi pertama kalinya bagiku untuk mengenal Bandung lebih dekat. Kampus ITB yang sangat bagus itu memperkuat keinginanku untuk diterima disana. Pada saat menjalankan ujiannya pun aku yakin, aku bisa melewatinya dengan baik.

Hasilnya baru akan diumumkan beberapa minggu ke depan, dan kesempatan itu aku gunakan untuk mengasah kemampuanku untuk SPMB nanti. Otakku hanya dipenuhi oleh pikiran2 untuk menaikan hasil tryout, tanpa begitu memikirkan jurusan yang akan kupilih nantinya. Sampai suatu saat aku menonton sebuah film yang berjudul Jewel in The Palace, film korea tentang seseorang yang bernama Jang Geum. Ia tadinya adalah seorang tukang masak istana yang terkenal. Namun, akhirnya ia diusir dari istana karena suatu masalah dan setelah itulah ia mulai mempelajari bidang medis. Kemudian karena kegigihannya akhirnya ia menjadi seorang tabib, yang pada jamannya itu belum ada tabib wanita sebelumnya. Semua perjuangannya kuikuti secara mendalam. Apalagi filmnya berseri sampai 70 episode. Disitu aku menyadari bahwa betapa mulianya profesi dokter, betapa kerennya menjadi dokter, betapa hebatnya seorang dokter, apalagi seorang dokter wanita. Perjalanan hidupnya menyadarkanku dan memperkuat perasaanku untuk melanjutkan pendidikanku menjadi seorang dokter.

Hari pengumuman USM ITB pun tiba. Sesaat sebelum mengetahui hasil ayahku berkata “kalau diterima, diambil saja ti..” tapi mendengar pernyataan ayahku itu, tiba-tiba aku sedih. kata ‘dokter’ melintas kembali dipikiranku. Kalau aku diterima, berarti mimpiku menjadi dokter berhenti sampai disitu.

Teman seperjuanganku selama di Bandung meneleponku dan mengatakan bahwa hasil ujian sudah bisa dilihat. Ia diterima. Aku tidak tahu apa yang kurasakan, tapi yang pasti aku senang ia diterima. Untuk diriku sendiri, aku hanya ingin mengetahui hasil secepatnya. Apapun hasilnya.

Pikiranku galau. Di satu sisi aku ingin diterima, karena dengan begitu aku berarti menang. Tapi hal itu berarti bahwa aku akan dibangunkan dari mimpiku menjadi seorang dokter. Dan aku agak tidak siap mimpiku dirampas.

Karena di rumah tidak ada internet, aku memintanya untuk melihat hasilku. Pelan-pelan kueja nomor ujjianku, sampai pada akhir nomor dan dia menekan enter, jantungku berdegup sangat kencang. Dan dia menjawab “Cum, ga ada..” lalu aku hanya menjawab “oh ya?”..dan kemudian dia melanjutkan “lo salah ngasih nomor ga?” Meskipun saat itu aku sudah bisa menerima keadaan dengan hati yang agak sedikit menangis dan sedikit lega, aku tetap mengulang nomorku dan temanku menjawab “iya, bener cum nomornya..”. Di gagang telpon aku hanya bisa tersenyum dan memberi selamat pada temanku. Dan ia mencoba untuk membuatku untuk lebih tabah. Aku memastikan bahwa diriku tidak apa-apa.

Orang yang paling tidak tega ku beritahu adalah ayahku. Dan pada saat ayahku tahu, meskipun beliau terlihat “ya udah, gapapa” tapi aku bisa melihat di dalam hatinya bahwa ia sangat sedih. Mungkin karena ia sudah melihat kerja kerasku dan teman-temanku yang hampir sebagian besar diterima. Hatiku sakit. Tapi kesakitan itu terlebih karena aku melihat ayahku. Namun, ada satu keyakinan yang aku pegang..”apa mungkin ITB memang bukan takdirku? Apa Allah menggagalkanku disini karena Ia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang menungguku?”. Aku tidak jatuh, aku terus maju, dan aku semakin yakin bahwa aku semakin dekat dengan mimpiku.

Harapanku untuk menjadi dokter hanya pada SPMB yang meskipun akhirnya aku memegang cadangan STT Telkom jurusan Teknik Industri.
Tibalah hari pemilihan jurusan. Untuk pilihan pertama aku tidak ragu menuliskan FKUI, namun aku ragu-ragu sekali dengan pilihan keduaku. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Jaket kuning adalah mimpiku, dokter adalah cita-citaku. Apa yang harus aku pilih? Mengabaikan cita-cita dengan memilih fakultas lain di UI atau mengorbankan mimpi tentang jaket kuning dalam memilih kedokteran di luar kota? Aku merenung dan meminta pendapat dari banyak orang. Dan akhirnya sampailah pilihanku untuk memilih FK lagi di luar kota sebagai pilihan keduaku. Hal tersebut dengan melalui pertimbangan bahwa aku masih bisa mengambil spesialis di UI suatu saat nanti. Namun, FK apa? UNPAD kah atau UNDIP? Beberapa orang memberi saran tentang FK UNDIP, tapi orang tuaku cenderung memilih Bandung dengan alasan lebih dekat. Entah mengapa aku sangat hati-hati memilih pilihan kedua, seolah-olah aku yakin bahwa aku akan terlempar dalam pilihan keduaku.

SPMBpun aku jalani. Aku tidak begitu yakin dengan diriku di tes tersebut. Dan sepulangnya dari ujian, aku sudah tidak begitu memikirkan FKUI dan aku hanya berharap namaku masuk Koran. Perasaanku semakin kuat saat aku memandang kota Jakarta dari atas parkiran ITC Kuningan. Perasaan bahwa segera, aku akan meningglkan kota ini, kota kesayanganku dengan kerlap=kerlip lampu kota. BIsakah aku hidup di daerah? Bisakah aku hidup tanpa orang tua? Pertanyaan tersebut terulang-ulang dibenakku. Sampai akhirnya pengumuman SPMB tiba dan subuh-subuh aku menuju tukang Koran. Aku panik dan was-was, bahkan saking paniknya, dalam pencarian pertamaku, masih di tempat penjualan Koran dengan latar lampu mobil karena saat itu masih subuh, aku tidak bisa menemukan kodeku. Aku oanik dan ibuku menenangkanku dengan mengatakan “ti, pulang dulu aja, lihatnya di rumah aja.” Aku pulang dengan perasaan kacau, membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Sesampainya di rumah, aku langsung berlari ke dalam dan mencari tempat berpencahayaan paling terang dan segera, aku mencari kembali namaku. Aku lihat, sekumpulan nama teman-temanku dalam 1 deret karena seingatku kami memang ujian dalam tempat yang sama, aku menelusuri 1 persatu nama..banyak sekali orang yang diterima di kode 220142. dan sampailah aku pada kode ujianku dan jariku menelusuri ke arah kanan dan mendapatkan bahwa kodeku adalah 260143. Aku tidak peduli lagi dimana aku diterima. Satu hal yang aku yakini adalah namaku masuk koran, dan aku akan segera menjadi Mahasiswa Kedokteran FK Unpad. Padahal sebelumnya aku tidak pernah membayangkan unpad akan menjadi pelabuhan terakhirnku dalam menjalani pendidikan menjadi seorang dokter. Aku tidak pernah memasukan nama FK Unpad dalam tryout2ku. Dan disinilah aku sekarang, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.

2 comments:
gravatar
iraa said...
July 9, 2009 at 5:59 AM  

cuuumm..ya ampun, senangnya membaca tulisan lo. lo ada disana menjalani mimpi lo. menelusuri jalan untuk menempuh mimpi lo.

sementara gw, harus berjuang lebih banyak lagi untuk bisa menuju mimpi gw yg sebenernya..hehehe doain gw ya cum..love you..

gravatar
TaMi said...
December 2, 2009 at 5:36 PM  

jd inget lagii..
220142...
hmm,,
mimpi q 3thn lalu, yg tak direstui ibuku...
hehehee...

Post a Comment